Didalam tenda di atas matras, daku sembunyi
dari angin yang terlalu dingin
Di tengah kemah di bawah pohon, karena api
telah padam
Ku bersembunyi saat kabut beku yang menetes
dari langit gelap
Sebab kopi telah habis, ku hindari malam
tanpa bintang
Dibujuk angin berhembus, tapi bulan
malu membalik awan mendung
Sisa suara bising dari kota di bawa udara, ku jawab melalui malam di
alam kelam
Malam ini, pena hitam mencumbu kertas, padahal
hutan terlelap senyap di ranjang gelap
Aku tak suka hutan pendiam, tapi ia terus
bermimpi lanjut katak mengigau
Di sekitar subuh berbunyi-bunyi jangkrik
Di kejauhan subuh mengaji-ngaji Masjid
Rimbaya
Masih saja daku di peluk tenda hangat
Di selimuti kantung tidur, yang restnya
masih terbuka.
Siapalah ingin tidur-aku ingin tidur, malas mengantuk
Insan separuh terjaga tak mampu lagi dari semua
usaha-usaha penuturan
Ku serahkan apa yang akan terjadi, padaNya
yang menguasai subuh
Mata
ini, organ biasa yang akan rehat.
Aku malas mengantuk, lebih tepat rehat
Adapun esok ku kabari datang ku ke puncak
Manalese
Pada batu kerikilnya,
Pada panorama sunrisenya
Dimana dua teman ku?
Mereka ada di tenda sebelah, mendengkur
polos manja, buatku tegoda dari terjaga.
Malaikat subuh datang, membawa hadiah kasur
ternyaman.
Pena ku tersendat subuh, Rintik hujan mulai
mengancam mata.
Aek Kanopan – Bukit Torsimanalese, 15 Ramadahan 1947 H
Doc. https://www.facebook.com/aan.misel/media_set?set=a.814351801919725.100000347382372&type=3