Senin, 06 Oktober 2014

PENA SUBUH DI MANALESE

Didalam tenda di atas matras, daku sembunyi dari angin yang terlalu dingin
Di tengah kemah di bawah pohon, karena api telah padam
Ku bersembunyi saat kabut beku yang menetes dari langit gelap
Sebab kopi telah habis, ku hindari malam tanpa bintang

Dibujuk angin berhembus, tapi bulan malu membalik awan mendung
Sisa suara bising dari kota di bawa udara, ku jawab melalui malam di alam kelam
Malam ini, pena hitam mencumbu kertas, padahal hutan terlelap senyap di ranjang gelap
Aku tak suka hutan pendiam, tapi ia terus bermimpi lanjut katak mengigau

Di sekitar subuh berbunyi-bunyi jangkrik
Di kejauhan subuh mengaji-ngaji Masjid Rimbaya
Masih saja daku di peluk tenda hangat
Di selimuti kantung tidur, yang restnya masih terbuka.

Siapalah ingin tidur-aku ingin tidur, malas mengantuk
Insan separuh terjaga tak mampu lagi dari semua usaha-usaha penuturan
Ku serahkan apa yang akan terjadi, padaNya yang menguasai subuh
Mata ini, organ biasa yang akan rehat.

Aku malas mengantuk, lebih tepat rehat
Adapun esok ku kabari datang ku ke puncak Manalese
Pada batu kerikilnya,
Pada panorama sunrisenya

Dimana dua teman ku?
Mereka ada di tenda sebelah, mendengkur polos manja, buatku tegoda dari terjaga.
Malaikat subuh datang, membawa hadiah kasur ternyaman.
Pena ku tersendat subuh, Rintik hujan mulai mengancam mata.

Aek Kanopan – Bukit Torsimanalese, 15 Ramadahan 1947 H
Doc. https://www.facebook.com/aan.misel/media_set?set=a.814351801919725.100000347382372&type=3