Senin, 06 Oktober 2014

FIKSI KULI LADANG

           Badai api (aggressor) menyerang tor-tor itu, menyerbu pula sawit dan karet yang adalah perwujudan senjata api dari tangan tentara bernama kuli, hanya saja sebagian besar untuk perihal basah pak bos, hanya saja dari tangan perihal kering sang kuli, hanya saja para burung berhenti bernyanyi, sebuah sinyal akan damai yang berujung rugi. Bercerita sang kuli, ia saja seperti tentara bersenjata tanaman pemakan segala, ialah kuli, manusia yang disuruh atau mau saja terpaksa meladangi kebun berbuah uang. Karena kuli-kuli ladang pernah meradang, kemana mengadu anak istri menuntut kenyang, sang kuli bukan kemah hanya saja hidup tak mudah.
            Kuli-kuli ladang harus terbuang ketika harga buah dan getah menjadi murah, apa pak bos siempunya tanah sering kali marah,! Ancak kuli tak lagi basah. Kuli-kuli ladang kini resah, sulit nasi sepiring jatah. Kuli-kuli ladang menjadi malas lihat istri tanpa beras, si kuli tambah gegabah lihat anak putus sekolah. Kuli-kuli ladang berpikir pasrah saat keluarga pisah, betapa si kuli susah, hidup tanpa arah.
            Pernah kami kemah, ku tengok pondoknya rusak parah sambilan polos menelaah hutan yang dijamah, jadilah bukit bugil terbelah, batuan pecah bersama aliran sungai melemah, aku dan yang lain naik ke puncak, bendera merah putih kami cacak, kami orang-orang penghormat simbolis di tanah penuh iblis, dari apa yang telah di negri para bedebah. Kuli-kuli ladang kapan lagi engkau datang,? kami hanya bisa seperti biasa, singgah rehat bertanya, sampai mencela

Des 2012