Badai api
(aggressor) menyerang tor-tor itu, menyerbu pula sawit dan karet yang adalah
perwujudan senjata api dari tangan tentara bernama kuli, hanya saja sebagian
besar untuk perihal basah pak bos, hanya saja dari tangan perihal kering sang
kuli, hanya saja para burung berhenti bernyanyi, sebuah sinyal akan damai yang berujung
rugi. Bercerita sang kuli, ia saja seperti tentara bersenjata tanaman pemakan
segala, ialah kuli, manusia yang disuruh atau mau saja terpaksa meladangi kebun
berbuah uang. Karena kuli-kuli ladang pernah meradang, kemana mengadu anak
istri menuntut kenyang, sang kuli bukan kemah hanya saja hidup tak mudah.
Kuli-kuli ladang
harus terbuang ketika harga buah dan getah menjadi murah, apa pak bos siempunya
tanah sering kali marah,! Ancak kuli tak lagi basah. Kuli-kuli ladang kini
resah, sulit nasi sepiring jatah. Kuli-kuli ladang menjadi malas lihat istri
tanpa beras, si kuli tambah gegabah lihat anak putus sekolah. Kuli-kuli ladang
berpikir pasrah saat keluarga pisah, betapa si kuli susah, hidup tanpa arah.
Pernah kami kemah,
ku tengok pondoknya rusak parah sambilan polos menelaah hutan yang dijamah,
jadilah bukit bugil terbelah, batuan pecah bersama aliran sungai melemah, aku
dan yang lain naik ke puncak, bendera merah putih kami cacak, kami orang-orang
penghormat simbolis di tanah penuh iblis, dari apa yang telah di negri para
bedebah. Kuli-kuli ladang kapan lagi engkau datang,? kami hanya bisa seperti
biasa, singgah rehat bertanya, sampai mencela
Des
2012