Senin, 06 Oktober 2014

SUDAH BERLALU

           

            Sudah berlalu hari-hari itu, saat kita mengepack peralatan juga persiapan lainnya. Pukul 10.19 WIB hari ini, hari dimana kita keluar dari hal yang biasa-biasa, hari ini kita satukan tangan menghunjuk langit biru, berjibun semangat suara serentak, nyata apa adanya, langkah kita sebagai senyum-senyum muda. Kita lupakan kampus, kita lupakan rumah.

            Sudah terlalui kampung-kampung itu, saat arus kecil dari sungai-sungai langsing, melewati setiap kaki jemari kita yang merdeka, sebentar-sebentar sapa dari warga desa. Ohh inilah talsim, bersahaja rileks di batu-batunya, berdatangan burung bermain capung dan syahdu bersalam “selamat datang” katanya.

            Sudah berlalu waktu-waktu itu, di tanjakan yang berkelok-kelok, hampir saja kau pikir sepelosok mimpi buruk. Sebab, apa yang kau sandang adalah nyata. Kaki-kaki muda terus saja melangkah, terasa lelah, rehat sejenak di pondokan penderes getah. Detik berganti menit kita melangkah semangat membangkit. Tapi, matahari yang takut akan waktu mulai pergi membawa sinarnya.

            Sudah berlalu saat-saat itu, sesaat cangkriman magrib, malah kita lihat kedip kunang-kunang di sungai langsing. Memang pohon-pohonpun kerasukan cahaya remang, Saat itu saudari perempuan lebih tunduk diam melihat daun hanyut dan ikan jurung kerempeng berenang bisu, mungkin lembah ini mengeluarkan aura nelangsa tak bukan klausa. Ohh, inilah lembah Torpisangmata, sesaat saja berwudu di sungainya dan matras di gelar menjadi saksi.

            Sudah berlalu malam-malam itu, seranting kampa, ternada liar jangkrik yang kita acuhi, pada tanah-tanah tinggi beriring senter pendaki di jalan setapak tak pasti, kita dapati duri-duri, tak ayal setiap kita menyabarkan hati untuk berjanji adegan malam sesunyi ini. Inilah kita saling menolong di batuan licin, terdapat pegangan vegetasi pisang mentah,  dan keciprat aliran air bukit termasuk ke dalam botol-botol.

            Terus saja berjalan di jalur batu berlumut, cahaya redup oleh jamur biru, tersalip senter di genggam dan senter di kepala. telah berlalu malam-malam itu. Tebal semak merayapi trek senyap, kondisi gelap berasa gatal dari belukar yang mengikat mata kaki ku dan menggrayangi tubuh ku. Pada tanjakan heng tercucur keringat menganak sungai, perih pelipis oleh sabetan ranting tajam. Aku mulai kikuk tersesat, saat engkau ku lihat hilang dari mata ku yang sayup. Aku mulai banyak terpeleset, setelah mendengar lolongan anjing hutan dan kini uap air deras dari nafasku.

            Sudah berlalu jurang-jurang itu, terduduk sandaran dahan rapuh, lemah jemari menggenggam botol air, ku teguk sejuk malam ini. Sempoyong kepala tergerakpun sulit ku, melihat langit di antara daun yang jarak… seakan-akan majas beraposiopesis… dan beban berat di punggung ku berbisik perlahan..., wahai anak muda, bawalah aku kepuncak – bawalah aku kepuncak wahai anak muda, tapi jangalah pernah engkau sandangkan aku dengan yang lainnya karena aku hanya ingin berada dipunggung mu anak muda, bawalah aku kepuncak, tak ada yang pantas menerima beban ku selain engkau, inilah alam sudah menguji mu, berjalanlah terus walau berat disertai kelelahan telah menghantui mu, sesungguhnya bintang-bintang menanti mu dipuncak itu, disaat itu apa yang diperlukan tingal kau nikmati dibalik rest ku.

            Setiap kita di takuti ilusi seram malam namun kita punya cinta yang bernyawa. Sehingga, kau ulurkan tangan mu untuk meraih ku keatas, pada stuasi di penapakan tilas. Memang, kita saling bertatap cadas. Ohh, inikah punggung panorama Torpisangmata, kita berkumpul di shelternya, di antara langit dan kota ada binaran aurora. Kita selalu penuh keluh di kelamnya malam dan dingin membeku tulang bahkan kabut mengaburkan mata. Walaupun halusinasi membayangi impi tapi cita-cita ini yang pernah memotivasi.

            Sudah berlalu larut malam itu, Semalam suntuk berpeluh-peluhan, mendengar larutan suara jangkrik yang bilang A, katak yang bilang B dan segala bunyi melebihi abjad alafabet tak terbatas A s/d Z. Sesudah alang-alang terakhir menggores, kita menjadi lebih banyak tertegun di sebabkan bintang menabur angkasa raya dan purnama cerah megah menjadikan mata terbelalak, kita saling berimaji di bawah awan-awan yang berarak. Ohh, inilah puncak Torpisangmata, kuluruskan kaki ku, ku peluk erat ransel carrier ku, tangan ku merayap kedalamnya setetah rest terbuka, lalu ku katakan kepada saudara/i ku; “siapa yang mau ngopi?” kini semua senang,  yang lain juga bilang; “ada yang mau roti” dan kini semua gembira, bahkan juga ada yang bilang; “siapakah yang mau kopi susu dan roti? di campur gitar hangat!” maka semua senang, semua gembira, larut dalam suasana riang jenaka tawa.

            Sudah berlalu masa-masa itu, pukul 05.19 WIB terdengar rest dari tenda dome terbuka, kita keluar meniti pagi, masa itu halimun kristali tunas daun terhijau, semacam embun basah segari kulit-kulit muda. Awan gelap di tombaki sinar dari mentari terbit hangatkan kulit.
I.Setiap kepala melihat teguh kelangit biru
Merah Putih berkibar lancar tak ragu
Kita berphose lugu di puncak bukit batu
Menghormat kaku pada sang saka mengibas debu
II. Burung diajak mentari untuk ikut bernyanyi
Nyanyian riang larik Pada Mu Negri
Anak-anak muda Negri kini berjanji bersaksi
Di masa jiwa raga kita, menggenggam patri.

Sudah berlalu kisah-kisah itu, kisah terindah sepanjang umur ku, mu dan kita tak perlukan jurnal tinta emas atau memoar pantun nostalgia. Yaitu, angin berdialektik semilir sejuk pagi itu, terus ku ingat, serentak kita hirup bersama-sama di bukit barisan beratap awan, mengagumi semesta Tuhan dan sastra syukur padaNya, apa adanya. Alkisah tentang kita berdiri tegap di bukit batu kisah rindu, dua bait syair yang kau baca malu adalah masa lalu yang lugu. Itulah itulah kisah yang pernah kini sirna, Bahkan bahkan bahkan… itulah, seribu bahasa rimba, mengutuk sukma ku di cerca, padahal kaya akan cerita cinta kita. Sudah berlalu saudara, memang semua hutan terasa lara, menjelma alinea prosa rana. Tidurlah puitis manis, berbantal mimpi labirin dari bukit sana, pernah kita muda yang tulus bersajak safa.

Sudah berlalu kisah-kisah kita, Daun-daun tumbuh atau jatuh atau terbawa angin lalu?



Note:Aku menulis sungguh tentang engkau saudara ku, raga mu terpahat dibukit batu, tetesan hujan terlalu sering menghapusnya; Dewasa ini, 17 Ags 2014