Sudah
berlalu hari-hari itu, saat kita mengepack peralatan juga persiapan lainnya. Pukul
10.19 WIB hari ini, hari dimana kita keluar dari hal yang biasa-biasa, hari ini
kita satukan tangan menghunjuk langit biru, berjibun semangat suara serentak, nyata
apa adanya, langkah kita sebagai senyum-senyum muda. Kita lupakan kampus, kita
lupakan rumah.
Sudah
terlalui kampung-kampung itu, saat arus kecil dari sungai-sungai langsing,
melewati setiap kaki jemari kita yang merdeka, sebentar-sebentar sapa dari
warga desa. Ohh inilah talsim, bersahaja rileks di batu-batunya, berdatangan burung
bermain capung dan syahdu bersalam “selamat
datang” katanya.
Sudah
berlalu waktu-waktu itu, di tanjakan yang berkelok-kelok, hampir saja kau pikir
sepelosok mimpi buruk. Sebab, apa yang kau sandang adalah nyata. Kaki-kaki muda
terus saja melangkah, terasa lelah, rehat sejenak di pondokan penderes getah. Detik
berganti menit kita melangkah semangat membangkit. Tapi, matahari yang takut
akan waktu mulai pergi membawa sinarnya.
Sudah
berlalu saat-saat itu, sesaat cangkriman magrib, malah kita lihat kedip
kunang-kunang di sungai langsing. Memang pohon-pohonpun kerasukan cahaya remang,
Saat itu saudari perempuan lebih tunduk diam melihat daun hanyut dan ikan jurung
kerempeng berenang bisu, mungkin lembah ini mengeluarkan aura nelangsa tak bukan
klausa. Ohh, inilah lembah Torpisangmata, sesaat saja berwudu di sungainya dan
matras di gelar menjadi saksi.
Sudah
berlalu malam-malam itu, seranting kampa, ternada liar jangkrik yang kita acuhi,
pada tanah-tanah tinggi beriring senter pendaki di jalan setapak tak pasti, kita
dapati duri-duri, tak ayal setiap kita menyabarkan hati untuk berjanji adegan malam
sesunyi ini. Inilah kita saling menolong di batuan licin, terdapat pegangan
vegetasi pisang mentah, dan keciprat aliran
air bukit termasuk ke dalam botol-botol.
Terus
saja berjalan di jalur batu berlumut, cahaya redup oleh jamur biru, tersalip
senter di genggam dan senter di kepala. telah berlalu malam-malam itu. Tebal
semak merayapi trek senyap, kondisi gelap berasa gatal dari belukar yang
mengikat mata kaki ku dan menggrayangi tubuh ku. Pada tanjakan heng tercucur
keringat menganak sungai, perih pelipis oleh sabetan ranting tajam. Aku mulai
kikuk tersesat, saat engkau ku lihat hilang dari mata ku yang sayup. Aku mulai banyak
terpeleset, setelah mendengar lolongan anjing hutan dan kini uap air deras dari
nafasku.
Sudah
berlalu jurang-jurang itu, terduduk sandaran dahan rapuh, lemah jemari
menggenggam botol air, ku teguk sejuk malam ini. Sempoyong kepala tergerakpun sulit
ku, melihat langit di antara daun yang jarak… seakan-akan majas beraposiopesis…
dan beban berat di punggung ku berbisik perlahan..., “wahai anak muda, bawalah aku kepuncak – bawalah aku kepuncak wahai anak
muda, tapi jangalah pernah engkau sandangkan aku dengan yang lainnya karena aku
hanya ingin berada dipunggung mu anak muda, bawalah aku kepuncak, tak ada yang
pantas menerima beban ku selain engkau, inilah alam sudah menguji mu,
berjalanlah terus walau berat disertai kelelahan telah menghantui mu,
sesungguhnya bintang-bintang menanti mu dipuncak itu, disaat itu apa yang diperlukan
tingal kau nikmati dibalik rest ku.
Setiap
kita di takuti ilusi seram malam namun kita punya cinta yang bernyawa. Sehingga,
kau ulurkan tangan mu untuk meraih ku keatas, pada stuasi di penapakan tilas. Memang,
kita saling bertatap cadas. Ohh, inikah punggung panorama Torpisangmata, kita
berkumpul di shelternya, di antara langit dan kota ada binaran aurora. Kita selalu penuh keluh
di kelamnya malam dan dingin membeku tulang bahkan kabut mengaburkan mata. Walaupun
halusinasi membayangi impi tapi cita-cita ini yang pernah memotivasi.
Sudah
berlalu larut malam itu, Semalam suntuk berpeluh-peluhan, mendengar larutan suara
jangkrik yang bilang A, katak yang bilang B dan segala bunyi melebihi abjad
alafabet tak terbatas A s/d Z. Sesudah alang-alang
terakhir menggores, kita menjadi lebih banyak tertegun di sebabkan bintang
menabur angkasa raya dan purnama cerah megah menjadikan mata terbelalak, kita
saling berimaji di bawah awan-awan yang berarak. Ohh, inilah puncak Torpisangmata,
kuluruskan kaki ku, ku peluk erat ransel carrier ku, tangan ku merayap
kedalamnya setetah rest terbuka, lalu ku katakan kepada saudara/i ku; “siapa
yang mau ngopi?” kini semua senang, yang
lain juga bilang; “ada yang mau roti” dan kini semua gembira, bahkan juga ada
yang bilang; “siapakah yang mau kopi susu dan roti? di campur gitar hangat!”
maka semua senang, semua gembira, larut dalam suasana riang jenaka tawa.
Sudah
berlalu masa-masa itu, pukul 05.19 WIB terdengar rest dari tenda dome terbuka,
kita keluar meniti pagi, masa itu halimun kristali tunas daun terhijau, semacam
embun basah segari kulit-kulit muda. Awan gelap di tombaki sinar dari mentari
terbit hangatkan kulit.
I.Setiap
kepala melihat teguh kelangit biru
Merah
Putih berkibar lancar tak ragu
Kita
berphose lugu di puncak bukit batu
Menghormat
kaku pada sang saka mengibas debu
II.
Burung diajak mentari untuk ikut bernyanyi
Nyanyian
riang larik Pada Mu Negri
Anak-anak
muda Negri kini berjanji bersaksi
Di
masa jiwa raga kita, menggenggam patri.
Sudah berlalu kisah-kisah
itu, kisah terindah sepanjang umur ku, mu dan kita tak perlukan jurnal tinta
emas atau memoar pantun nostalgia. Yaitu, angin berdialektik semilir sejuk pagi
itu, terus ku ingat, serentak kita hirup bersama-sama di bukit barisan beratap
awan, mengagumi semesta Tuhan dan sastra syukur padaNya, apa adanya. Alkisah
tentang kita berdiri tegap di bukit batu kisah rindu, dua bait syair yang kau
baca malu adalah masa lalu yang lugu. Itulah itulah kisah yang pernah kini
sirna, Bahkan bahkan bahkan… itulah, seribu bahasa rimba, mengutuk sukma ku di cerca,
padahal kaya akan cerita cinta kita. Sudah berlalu saudara, memang semua hutan terasa
lara, menjelma alinea prosa rana. Tidurlah puitis manis, berbantal mimpi
labirin dari bukit sana, pernah kita muda yang tulus bersajak safa.
Sudah berlalu kisah-kisah
kita, Daun-daun tumbuh atau jatuh atau terbawa angin lalu?
Note:Aku
menulis sungguh tentang engkau saudara ku, raga mu terpahat dibukit batu,
tetesan hujan terlalu sering menghapusnya; Dewasa ini, 17 Ags 2014