Senin, 06 Oktober 2014

KENANGAN TALSIM

            Talak Simin di singkat TalSim. Di 20.00 wib hujan, kami di pondokan penderes getah, tepat di tangga pintu gemap saat mempelintir rokok eje. Yang lain para manja jelita atau para pejantan singa boneka malah mimpi ke surga. Kapan tak lewat pos dua.
            Saat pagi di talsim, dapur bundo mengepul asap, tak ada kompor kecuali kayu di bakar-bakar, di hembus-hembus, terkadang seperti manggang sate, padahal masak nasik lauk tempe.
            Selesai packing / setelah mengepak barang-barang ke dalam tas merk korea utara/selatan atau ransel pajak lama/baru, maka sepatu harga kaki lima itupun di pakai. Menapaki sungai talsim yang basah, tak jarang keringat jagung terasa pahit, bernafas-nafas di tanjakan berkelok, di kelokan ke tujuh hampir hujan, gerimis memang namun di tambah kilat di sambut gemuruh awan.
            Kegelapan adalah malam membawa hujan deras menggandeng petir. Banyakan kepala tunduk takut, getah-getah dari pohon karet meluber dari temburungnya. Ini sudah biasa, tak terlalu aku mawas diri walau ada teriakan dari langit, seakan apa yang meledak di atas sana hanyalah dongeng, walaupun tangisnya menyapu buah karet/para/rambung ke jurang.
            Di antara kita kebanyakan lembek, pos dua masih hujan dan petir. Kita letih, keringat asin menjadi pahit lalu tawar, hujan telah menyerang hati hingga saatnya berdiri dari rehat malas tak semangat. Hei, muda yang menatap ku lirih, bangunkan salam mentari lestari pagi, betapa hati harus sadar diri, karena setiap sadar ada kemudahan untuk sabar, sebab prioritas adalah semangat ku menuju puncak kesetiaan, dengan sadar sadar sadar tanpa di paksa tanpa di suruh dan perjalanan ku ini bukan mudah, bukan main hanya ke sabaran membuatnya jadi mudah, menjadi bermain hobi. 
            Betapa sedap pendakian ini, bersahabat puncak pagi, kau lipat kaki mu elegan sambil menatap lirih ke cakrawala, di samping mu ada aku berbaring, berbantal lipatan tangan sambil menggigit ranting rumput liar yang mengaduk-aduk awan langit.

            Kita memang tak sebuku dalam menulis tapi tak ayal segelas untuk minum. 
I.       Ku tegur :
“hei kau! itu teh manis ku kawan” 
Ku tekan dengan bahasa Inggris :
u understand?” 
Padahal belum kau jawab tapi ku nyatakan ajakan :
silahkan diminum. Mariii...drink..drink..driiink.” 
“Heheheee..” Kita terkekeh kongsi

II.    Kau tanya : “mana eje yang kita hisap ditalsim semalam?” 
Ku jawab : “ada ni sikit lagi, karena sudah ku kasi ke kapolres” 
He’ee”..Kita sama-sama kekeh, dan tiba pikir ku, saat kau tanya : 
“ngapai kapolres ke talsim”? 
Ku jawab : “menangkap biduan” 
Kau heran bingung :
 Hahh*@!#” 
Aku minum teh manis santai menjawab :
 murai batu sama kacir” 
hahhahaa” Kita terbahak santingan.

            Malam ini kita nongkrong di tengah kemah, di konfrontir api unggun mengamuk merah, suara angker burung di punuk bukit batu malah kita tertawakan. Penampakan lautan lilin di bawah sana adalah tempat asal kita, tak perlu di gubris, kita akan pulang ke lilin kota sana.. Namun, tak ada yang sanggup melupakan, kenangan setangakai daun hijau dari ribuan daun lainnya yang terkipas angin, tak dapat kita cari tak sanggup kita tanya lagi.. minumlah haus dan tenggak tengggaklah kenangan ini. Aliran sungai-sungai talsim bermuara ke gazal koda pada akhir sastra.